Rabu, 30 November 2011

MALIN KUNDANG

Pada suatu waktu, hiduplah sebuah keluarga nelayan di
pesisir pantai wilayah Sumatra. Keluarga tersebut terdiri
dari ayah, ibu dan seorang anak laki-laki yang diberi nama
Malin Kundang. Karena kondisi keuangan keluarga yang
memprihatinkan, sang ayah memutuskan untuk mencari
nafkah di negeri seberang dengan mengarungi lautan yang
luas.
Maka tinggallah si Malin dan ibunya di gubug mereka. Seminggu, dua minggu, sebulan, dua
bulan bahkan sudah 1 tahun lebih lamanya, ayah Malin tidak juga kembali ke kampung
halamannya. Sehingga ibunya harus menggantikan posisi ayah Malin untuk mencari nafkah.
Malin termasuk anak yang cerdas tetapi sedikit nakal. Ia sering mengejar ayam dan
memukulnya dengan sapu. Suatu hari ketika Malin sedang mengejar ayam, ia tersandung
batu dan lengan kanannya luka terkena batu. Luka tersebut menjadi berbekas dilengannya
dan tidak bisa hilang.
Setelah beranjak dewasa, Malin Kundang merasa kasihan dengan ibunya yang banting
tulang mencari nafkah untuk membesarkan dirinya. Ia berpikir untuk mencari nafkah di
negeri seberang dengan harapan nantinya ketika kembali ke kampung halaman, ia sudah
menjadi seorang yang kaya raya. Malin tertarik dengan ajakan seorang nakhoda kapal
dagang yang dulunya miskin sekarang sudah menjadi seorang yang kaya raya.
Malin kundang mengutarakan maksudnya kepada ibunya. Ibunya semula kurang setuju
dengan maksud Malin Kundang, tetapi karena Malin terus mendesak, Ibu Malin Kundang
akhirnya menyetujuinya walau dengan berat hati. Setelah mempersiapkan bekal dan
perlengkapan secukupnya, Malin segera menuju ke dermaga dengan diantar oleh ibunya.
"Anakku, jika engkau sudah berhasil dan menjadi orang yang berkecukupan, jangan kau
lupa dengan ibumu dan kampung halamannu ini, nak", ujar Ibu Malin Kundang sambil
berlinang air mata.
Kapal yang dinaiki Malin semakin lama semakin jauh dengan diiringi lambaian tangan Ibu
Malin Kundang. Selama berada di kapal, Malin Kundang banyak belajar tentang ilmu
pelayaran pada anak buah kapal yang sudah berpengalaman. Di tengah perjalanan, tibatiba
kapal yang dinaiki Malin Kundang di serang oleh bajak laut. Semua barang dagangan
para pedagang yang berada di kapal dirampas oleh bajak laut. Bahkan sebagian besar
awak kapal dan orang yang berada di kapal tersebut dibunuh oleh para bajak laut. Malin
Kundang sangat beruntung dirinya tidak dibunuh oleh para bajak laut, karena ketika
peristiwa itu terjadi, Malin segera bersembunyi di sebuah ruang kecil yang tertutup oleh
kayu.
Malin Kundang terkatung-katung ditengah laut, hingga akhirnya kapal yang ditumpanginya
terdampar di sebuah pantai. Dengan sisa tenaga yang ada, Malin Kundang berjalan menuju
ke desa yang terdekat dari pantai. Sesampainya di desa tersebut, Malin Kundang ditolongoleh masyarakat di desa tersebut setelah sebelumnya menceritakan kejadian yang
menimpanya. Desa tempat Malin terdampar adalah desa yang sangat subur. Dengan
keuletan dan kegigihannya dalam bekerja, Malin lama kelamaan berhasil menjadi seorang
yang kaya raya. Ia memiliki banyak kapal dagang dengan anak buah yang jumlahnya lebih
dari 100 orang. Setelah menjadi kaya raya, Malin Kundang mempersunting seorang gadis
untuk menjadi istrinya.
Berita Malin Kundang yang telah menjadi kaya raya dan telah
menikah sampai juga kepada ibu Malin Kundang. Ibu Malin
Kundang merasa bersyukur dan sangat gembira anaknya telah
berhasil. Sejak saat itu, ibu Malin Kundang setiap hari pergi
ke dermaga, menantikan anaknya yang mungkin pulang ke
kampung halamannya.
Setelah beberapa lama menikah, Malin dan istrinya
melakukan pelayaran dengan kapal yang besar dan indah
disertai anak buah kapal serta pengawalnya yang
banyak. Ibu Malin Kundang yang setiap hari menunggui
anaknya, melihat kapal yang sangat indah itu, masuk ke
pelabuhan. Ia melihat ada dua orang yang sedang
berdiri di atas geladak kapal. Ia yakin kalau yang
sedang berdiri itu adalah anaknya Malin Kundang
beserta istrinya.
Malin Kundang pun turun dari kapal. Ia disambut oleh ibunya. Setelah cukup dekat, ibunya
melihat belas luka dilengan kanan orang tersebut, semakin yakinlah ibunya bahwa yang ia
dekati adalah Malin Kundang. "Malin Kundang, anakku, mengapa kau pergi begitu lama
tanpa mengirimkan kabar?", katanya sambil memeluk Malin Kundang.
Tapi apa yang terjadi kemudian? Malin Kundang segera
melepaskan pelukan ibunya dan mendorongnya hingga
terjatuh. "Wanita tak tahu diri, sembarangan saja
mengaku sebagai ibuku", kata Malin Kundang pada
ibunya. Malin Kundang pura-pura tidak mengenali ibunya,
karena malu dengan ibunya yang sudah tua dan
mengenakan baju compang-camping. "Wanita
itu ibumu?", Tanya istri Malin Kundang. "Tidak, ia hanya seorang pengemis yang pura-pura
mengaku sebagai ibuku agar mendapatkan harta ku", sahut Malin kepada istrinya.
Mendengar pernyataan dan diperlakukan semena-mena oleh anaknya, ibu Malin Kundang
sangat marah. Ia tidak menduga anaknya menjadi anak durhaka. Karena kemarahannya
yang memuncak, ibu Malin menengadahkan tangannya sambil berkata "Oh Tuhan, kalau
benar ia anakku, aku sumpahi dia menjadi sebuah batu". Tidak berapa lama kemudian angin
bergemuruh kencang dan badai dahsyat datang menghancurkan kapal Malin Kundang.
Setelah itu tubuh Malin Kundang perlahan menjadi kaku dan lama-kelamaan akhirnya
berbentuk menjadi sebuah batu karang.
HIKMAH :
Sebagai seorang anak, jangan pernah melupakan semua jasa orangtua terutama
kepada seorang Ibu yang telah mengandung dan membesarkan anaknya, apalagi jika
sampai menjadi seorang anak yang durhaka. Durhaka kepada orangtua merupakan
satu dosa besar yang nantinya akan ditanggung sendiri oleh anak.

Minggu, 27 November 2011

Kebo Iwa, patriot Nusantara…

Di desa Bedahulu wilayah kabupaten Tabanan, Bali pada zaman dahulu, hiduplah sepasang suami istri. Mereka kaya, hanya saja mereka belum mempunyai anak. Bagi penduduk Bali pada masa itu, manusia yang belum mempunyai keturunan adalah manusia yang siasia hidupnya.  Suatu hari mereka pergi ke Pura Desa. Mereka memohon kepada Yang Maha Kuasa agar diberi keturunan. Waktu pun berlalu. Sang istri mulai mengandung. Betapa bahagianya mereka. Beberapa bulan kemudian, lahirlah seorang bayi laki-laki.
  Bayi tersebut hendak disusui oleh ibunya, namun jarinya terus menunjuk ke arah sebuah nasi kukus. Bahwa nantinya anak ini akan menjadi tokoh besar, sudah nampak tanda- tandanya sejak dini.
Bayi itu menangis merengek seolah meminta sesuatu. Sang Ibu kasian mendengar rengekan sang bayi , Ibu kemudian mengambil nasi kukus tersebut dan mencoba untuk memberikannya pada bayi. Ibu bergumam dalam hatinya : Apakah anak ini ingin merasakan nasi kukusan ini? Umurnya belum cukup untuk makan nasi?”
Tak dinyana ternyata bayi tersebut memakan nasi kukus tersebut dengan lahapnya. Ibu bayi tersebut menampakkan keterkejutan yang sangat. Ketika baru lahir, anak tersebut sudah bisa untuk memakan nasi… Ibu:” Astaga, Kau telah berikan anak yang luar biasa, ya Hyang Widi…
Ternyata yang lahir bukanlah bayi biasa. Ketika masih bayi pun ia sudah bisa makan makanan orang dewasa. Setiap hari anak itu makin banyak dan makin banyak.
Anak itu tumbuh menjadi orang dewasa yang tinggi besar. Karena itu ia dipanggil dengan nama Kebo Iwa, yang artinya paman kerbau.
Kebo Iwa makan dan makan terus dengan rakus. Lama-lama habislah harta orang tuanya untuk memenuhi selera makannya. Mereka pun tak lagi sanggup memberi makan anaknya.
Dengan berat hati mereka meminta bantuan desa. Sejak itulah segala kebutuhan makan Kebo Iwa ditanggung desa. Penduduk desa kemudian membangun rumah yang sangat besar untuk Kebo Iwa. Mereka pun memasak makanan yang sangat banyak untuknya. Tapi lama-lama penduduk merasa tidak sanggup untuk menyediakan makanan. Kemudian mereka meminta Kebo Iwa untuk memasak sendiri. Mereka cuma menyediakan bahan mentahnya. Bahan-bahan pangan tersebut diolah oleh Kebo Iwa di Pantai Payan, yang bersebelahan dengan Pantai Soka.
Danau Beratan merupakan tempat dimana , Kebo Iwa biasanya membersihkan, walaupun jaraknya cukup jauh namun dengan tubuh besarnya jarak tidak menjadi masalah baginya, dia bisa mencapai setiap tempat yang diinginkannya di wilayah Bali dengan waktu singkat.
Kebo Iwa memang serba besar. Jangkauan kakinya sangat lebar, sehingga ia dapat bepergian dengan cepat. Kalau ia ingin minum, Kebo Iwa tinggal menusukkan telunjuknya ke tanah. Sehingga terjadilah sumur kecil yang mengeluarkan air.
Walaupun terlahir dengan tubuh besar, namun Kebo Iwa adalah seorang pemuda dengan hati yang luru

“Sang Adipati Kuningan” adalah “Putra” Luragung

Cerita dari Jawa Barat
Menelusuri jejak sejarah Kabupaten Kuningan, terutama membedah tokoh “Sang Adipati Kuningan” yang pernah menjadi pemimpin pemerintahan di Kuningan pada masa penyebaran Islam di Cirebon (Jawa Barat) dan sekitarnya akhirnya dapatlah diungkapkan bahwa nama Sang Adipati Kuningan yang sebenarnya adalah SURANGGAJAYA. Ia adalah putra Ki Gedeng Luragung (seorang kepala daerah di Luragung) bernama JAYARAKSA. Jayaraksa juga punya saudara laki-laki yang memimpin daerah Winduherang bernama BRATAWIYANA atau BRATAWIJAYA (?) yang dijuluki juga Ki Gedeng Kamuning atau Arya Kamuning.
Ketika Sunan Gunung Jati menyebarkan agama Islam, di antaranya sampai pula ke Luragung, beliau disusul kedatangannya ke Luragung oleh istrinya bernama putri Ong Tien (asal Campa) yang juga bernama Nyai Rara Sumanding. Ketika itu sang istri sedang mengandung tua, dan di Luragung pulalah akhirnya Nyai Rara Sumanding melahirkan anak. Namun sayang putra yang baru dilahirkannya itu meninggal dunia. Untuk mengobati hati beliau yang sedang berduka itu, kemudian Sunan Gunung Jati meminta kepada Ki Gedeng Luragung untuk memungut putranya yang kebetulan masih bayi untuk diangkat anak oleh Sunan Gunung Jati. Anak tersebut namanya Suranggajaya.
Dalam cerita rakyat Kuningan versi lainnya yang berbau mitos menyebutkan bahwa yang dilahirkan oleh Nyai Rara Sumanding bukanlah anak, tetapi sebuah bokor yang terbuat dari logam Kuningan. Bokor Kuningan inilah yang nantinya menjadi logo maskot Kota Kuningan, selain Kuda Kuningan. Juga ada yang menyebutkan bokor kuningan itu sebagai barang “panukeur” atawa “tutukeuranna” antara bayi dari Ki Gedeng Luragung yang ditukar dengan bokor kuningan dari Nyai Rara Sumanding. Cerita-cerita mitos ini memang banyak mewarnai dalam penelusuran sejarah Kuningan.
Setelah ke Luragung perjalanan Sunan Gunung Jati diteruskan ke Winduherang (yang dulu diduga sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Kuningan/Kajene) untuk menemui saudaranya Jayaraksa yaitu Bratawiyana yang rupanya telah lebih dulu masuk Islam. Sementara itu pemegang tampuk pemerintahan di Kerajaan Kuningan saat itu sedang diperintah oleh Nyai Ratu Selawati (keturunan Prabu Langlangbuana). Ratu Selawati yang tadinya penganut Hindu menjadi penganut Islam setelah menikah dengan Syekh Maulana Arifin (putra dari Syekh Maulana Akbar). Syekh Maulana Akbar sendiri adalah seorang ulama yang diduga asal Persia yang berhasil sampai ke Kuningan dan menyebarkan Islam di sana. Kedatangannya ke Kuningan waktu itu kiranya terlebih dahulu atas seijin Sunan Gunung Jati penguasa Kerajaan Islam Cirebon yang mulai tumbuh dan giat menyebarkan Islam. Kedatangannya Syekh Maulana Akbar menyebarkan Islam ke Kuningan berarti lebih dulu daripada Sunan Gunung Jati. Mungkin dapat dikatakan Syekh Maulana Akbar sebagai perintis penyebaran Islam ke Kuningan, sementara Sunan Gunung Jati lebih menyempurnakan lagi. Kurun waktu kedatangan Syekh Maulana Akbar menyebarkan Islam di Kuningan diperkirakan mulai terjadi tahun 1450.
Ketika Sunan Gunung Jati sampai di Winduherang, beliau menitipkan putra angkatnya tersebut (Suranggajaya) untuk diasuh oleh Bratawiyana (Arya Kamuning). Selain itu Sunan Gunung Jati berpesan bahwa anak tersebut setelah dewasa kelak akan diangkat menjadi penguasa daerah Kuningan. Dalam masa pengasuhan Arya Kamuning ini bahkan anak yang dititipkan itu diberi nama panggilan Raden Kamuning, kiranya untuk lebih mendekatkan hubungan psikologis (batin) antara ayah (asuh) dengan putra (asuh)nya.
Dalam sumber berita Cirebon (CPCN/Carita Purwaka Caruban Nagari) dan buku karya P.S Sulendraningrat bahkan disebutkan lagi bahwa bersamaan dengan mengasuh putra angkat Sunan Gunung Jati, sebenarnya Bratawiyana (Arya Kamuning) juga punya anak yang sedang sama-sama dibesarkan (seusia dengan Suranggajaya) yaitu Ewangga. Tetapi di sumber lain menyebutkan bahwa tokoh Dipati Ewangga adalah seorang bangsawan yang asalnya dari Parahyangan (Cianjur) yang pada awalnya ingin berguru/belajar agama Islam kepada Sunan Gunung Jati, lalu oleh Sunan Gunung Jati diperintahkan untuk pergi ke Kuningan saja membantu putra angkatnya (yaitu Suranggajaya) dalam mengelola pemerintahan di Kuningan. Mana yang benar, yang jelas keberadaan tokoh Dipati Ewangga kiprahnya banyak diceriterakan sebagai tokoh “panglima” tentara Kuningan yang pernah ikut membantu Cirebon dan Mataram ketika menyerang Belanda di Batavia (sehingga ada nama perkampungan Kuningan di Jakarta).
Setelah dewasa, menginjak usia 17 tahun, akhirnya janji Sunan Gunung Jati mengangkat putranya menjadi penguasa di Kuningan pun dilakukan. Suranggajaya kemudian dilantik menjadi pemimpin Kuningan dengan julukan populernya Sang Adipati Kuningan. Titimangsanya konon bertepatan dengan tanggal 1 September 1478, yang diperingati sebagai hari lahirnya kota Kuningan.
Namun bila dilihat secara politis, sebenarnya sejak saat itu sebenarnya “Kerajaan” Kuningan telah jatuh. Tidak lagi sebagai kerajaan yang berdaulat penuh atau merdeka, tetapi terikat menjadi daerah bawahan Kerajaan Cirebon. Berarti kalau kita lihat eksistensi perjalanan Kerajaan Kuningan sejak zaman Hindu dari awal kelahirannya, bernama Kerajaan Kuningan (raja: Sang Pandawa) – Kerajaan Saunggalah (raja: Demunawan/Rahangtang Kuku/Seuweukarma) merupakan kerajaan berdaulat penuh. Kemudian dibawahkan oleh Kerajaan Galuh (raja: Rhy Banga), lalu muncul lagi dijadikan pusat pemerintahan oleh putra Rakeyan Darmasiksa, yaitu Prabu Ragasuci/Sang Lumahing Taman. Selanjutnya di bawah penguasaan Sunda Padjajaran oleh Prabu Siliwangi. Lalu muncul Kerajaan Kuningan dengan sebutan Kajene zaman Prabu Langlangbuana/Langlangbumi dan diturunkan kepada Ratu Selawati (kerajaan kecil di bawah pengaruh Kerajaan Sunda Pajajaran), dan akhirnya ketika diperintah Sang Adipati Kuningan, pemerintahan kerajaan jatuh di bawah pengaruh Kerajaan Cirebon.

Riwayat Singkat Syech Sarif Hidayatullah

Cerita dari Jawa Barat
(Sunan Gunung Jati)
Oleh : Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat, SE
Syech Syarief Hidayatulloh dilahirkan Tahun 1448 Masehi. Ayahanda Syech Syarief Hidayatulloh adalah Syarief Abdullah, seorang dari Mesir keturunan ke 17 Rosulullah SAW, bergelar Sultan Maulana Muhamad, Ibunda Syech Syarief Hidayatullah adalah Nyai Rara Santang dan setelah masuk Islam berganti nama menjadi Syarifah Muda’im adalah Putri Prabu Siliwangi dari kerajaan Padjajaran.
Syech Syarief Hidayatullah berkelana untuk belajar Agama Islam dan sampai di Cirebon pada tahun 1470 Masehi.
Syech Syarief Hidayatullah dengan didukung uwanya, Tumenggung Cerbon Sri Manggana Cakrabuana alias Pangeran Walangsungsang dan didukung Kerajaan Demak, dinobatkan menjadi Raja Cerbon dengan gelar Maulana Jati pada tahun 1479.

Sejak itu pembangunan insfrastruktur Kerajaan Cirebon kemudian dibangun dengan dibantu oleh Sunan Kalijaga, Arsitek Demak Raden Sepat, yaitu Pembangunan Keraton Pakungwati, Masjid Agung Sang Cipta Rasa, jalan pinggir laut antara Keraajaan Pakungwati dan Amparan Jati serta Pelabuhan Muara Jati.
Syech Maulana Jati pada Tahun 1526 Masehi, menyebarkan Islam sampai Banten dan menjadikannya Daerah Kerajaan Cirebon. Dan pada Tahun 1526 Masehi juga tentara Kerajaan Cirebon dibantu oleh Kerajaan Demak dipimpin oleh Panglima Perang bernama Fatahillah merebut Sunda Kelapa dan Portugis, dan diberi nama baru yaitu Jayakarta.
Pada tahun 1533 Masehi, Banten menjadi Kasultanan Banten dengan Sultannya adalah Putra dari Syech Maulana Jati yaitu Sultan Hasanuddin.
Syech Maulana Jati salah seorang Wali Sanga yang mempekenalkan visi baru bagi masyarakat tentang apa arti menjadi Pemimpin, apa makna Masyarakatm, apa Tujuan, Masyarakat, bagaimana seharusnya berkiprah di dalam dunia ini lewat Proses Pemberdyaan.
Syech Maulan Jati melakukan tugas dakwah menyebarkan Agama Islam ke berbagai lapisan Masyarakat dengan dukungan personel dan dukungan aspek organisasi kelompok Forum Walisanga, dimana forum Walisanga secara efektif dijadikan sebagai organisasi dan alat kepentingan dakwah, merupakan siasat yang tepat untuk mempercepat teresebarnya Agama Islam.
Syech Maulana Jati berpulang ke Rahmatullah pada tanggal 26 Rayagung tahun 891 Hijriah atau bertepatan dengan tahun 1568 Masehi.
Tanggal Jawanya adalah 11 Krisnapaksa bulan Badramasa tahun 1491 Saka.
Meninggal dalam usia 120 tahun, sehingga Putra dan Cucunya tidak sempat memimpin Cirebon karena meninggal terlebih dahulu. Sehingga cicitnya yang memimpin setelah Syech Maulana Jati.
Syech Syarief Hidayatullah kemudian dikenal dengan Sunan Gunung Jati karena dimakamkan di Bukit Gunung Jati.
Sunan Gunung Jati banyak meninggalkan ipat-ipat atau nasehat, diantaranya adalah “INGSUN TITIP TAJUG LAN FAKIR MISKIN”.
Sumber : Keraton Kasepuhan Cirebon

Legenda Sangkuriang

Cerita dari Jawa Barat

Sangkuriang adalah legenda yang berasal dari Tatar Sunda. Legenda tersebut berkisah tentang penciptaan danau Bandung, Gunung Tangkuban Parahu, Gunung Burangrang dan Gunung Bukit Tunggul.
Dari legenda tersebut, kita dapat menentukan sudah berapa lama orang Sunda hidup di dataran tinggi Bandung. Dari legenda tersebut yang didukung dengan fakta geologi, diperkirakan bahwa orang Sunda telah hidup di dataran ini sejak beribu tahun sebelum Masehi.
Legenda Sangkuriang awalnya merupakan tradisi lisan. Rujukan tertulis mengenai legenda ini ada pada naskah Bujangga Manik yang ditulis pada daun palem yang berasal dari akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16 Masehi. Dalam naskha tersebut ditulis bahwa Pangeran Jaya Pakuan alias Pangeran Bujangga Manik atau Ameng Layaran mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di pulau Jawa dan pulau Bali pada akhir abad ke-15.
Setelah melakukan perjalanan panjang, Bujangga Manik tiba di tempat yang sekarang menjadi kota Bandung. Dia menjadi saksi mata yang pertama kali menuliskan nama tempat ini beserta legendanya. Laporannya adalah sebagai berikut:
Leumpang aing ka baratkeun (Aku berjalan ke arah barat)
datang ka Bukit Patenggeng (kemudian datang ke Gunung Patenggeng)
Sakakala Sang Kuriang (tempat legenda Sang Kuriang)
Masa dek nyitu Ci tarum (Waktu akan membendung Citarum)
Burung tembey kasiangan (tapi gagal karena kesiangan)


Ringkasan Cerita

Berdasarkan legenda tersebut, diceritakan bahwa Raja Sungging Perbangkara pergi berburu. Di tengah hutan Sang Raja membuang air seni yang tertampung dalam daun caring (keladi hutan). Seekor babi hutan betina bernama Wayungyang yang tengah bertapa ingin menjadi manusia meminum air seni tadi. Wayungyang hamil dan melahirkan seorang bayi cantik. Bayi cantik itu dibawa ke keraton oleh ayahnya dan diberi nama Dayang Sumbi alias Rarasati. Banyak para raja yang meminangnya, tetapi seorang pun tidak ada yang diterima. Akhirnya para raja saling berperang di antara sesamanya. Dayang Sumbi pun atas permitaannya sendiri mengasingkan diri di sebuah bukit ditemani seekor anjing jantan yaitu Si Tumang. Ketika sedang asyik bertenun, toropong (torak) yang tengah digunakan bertenun kain terjatuh ke bawah. Dayang Sumbi karena merasa malas, terlontar ucapan tanpa dipikir dulu, dia berjanji siapa pun yang mengambilkan torak yang terjatuh bila berjenis kelamin laki-laki, akan dijadikan suaminya. Si Tumang mengambilkan torak dan diberikan kepada Dayang Sumbi. Dayang Sumbi akhirnya melahirkan bayi laki-laki diberi nama Sangkuriang.
Ketika Sangkuriang berburu di dalam hutan disuruhnya si Tumang untuk mengejar babi betina Wayungyang. Karena si Tumang tidak menurut, lalu dibunuhnya. Hati si Tumang oleh Sangkuriang diberikan kepada Dayang Sumbi, lalu dimasak dan dimakannya. Setelah Dayang Sumbi mengetahui bahwa yang dimakannya adalah hati si Tumang, kemarahannya pun memuncak serta merta KEPALA Sangkuriang dipukul dengan senduk yang terbuat dari tempurung kelapa sehingga luka.
Sangkuriang pergi mengembara mengelilingi dunia. Setelah sekian lama berjalan ke arah TIMUR akhirnya sampailah di arah BARAT lagi dan tanpa sadar telah tiba kembali di tempat Dayang Sumbi, tempat ibunya berada. Sangkuriang tidak mengenal bahwa putri cantik yang ditemukannya adalah Dayang Sumbi – ibunya. Terjalinlah kisah kasih di antara kedua insan itu. Tanpa sengaja Dayang Sumbi mengetahui bahwa Sangkuriang adalah puteranya, dengan tanda luka di kepalanya. Walau demikian Sangkuriang tetap memaksa untuk menikahinya. Dayang Sumbi meminta agar Sangkuriang membuatkan perahu dan telaga (danau) dalam waktu semalam dengan membendung sungai Citarum. Sangkuriang menyanggupinya.
Maka dibuatlah perahu dari sebuah pohon yang tumbuh di arah timur, tunggul/pokok pohon itu berubah menjadi gunung ukit Tanggul. Rantingnya ditumpukkan di sebelah barat dan mejadi Gunung Burangrang. Dengan bantuan para guriang, bendungan pun hampir selesai dikerjakan. Tetapi Dayang Sumbi bermohon kepada Sang Hyang Tunggal agar maksud Sangkuriang tidak terwujud. Dayang Sumbi menebarkan irisan boeh rarang (kain putih hasil tenunannya), ketika itu pula fajar pun merekah di ufuk timur. Sangkuriang menjadi gusar, dipuncak kemarahannya, bendungan yang berada di Sanghyang Tikoro dijebolnya, sumbat aliran sungai Citarum dilemparkannya ke arah timur dan menjelma menjadi Gunung Manglayang. Air Talaga Bandung pun menjadi surut kembali. Perahu yang dikerjakan dengan bersusah payah ditendangnya ke arah utara dan berubah wujud menjadi Gunung Tangkuban Perahu.
Sangkuriang terus mengejar Dayang Sumbi yang mendadak menghilang di Gunung Putri dan berubah menjadi setangkai unga jaksi. Adapun Sangkuriang setelah sampai di sebuah tempat yang disebut dengan Ujung berung akhirnya menghilang ke alam gaib (ngahiyang).

Kesesuaian dengan fakta geologi

Legenda Sangkuriang sesuai dengan fakta geologi terciptanya danau Bandung dan Gunung Tangkuban Parahu.[1]
Penelitian geologis mutakhir menunjukkan bahwa sisa-sisa danau purba sudah berumur 125 ribu tahun. Danau tersebut mengering 16000 tahun yang lalu.
Telah terjadi dua letusan Gunung Sunda purba dengan tipe letusan Plinian masing-masing 105000 dan 55000-50000 tahun yang lalu. Letusan plinian kedua telah meruntuhkan kaldera Gunung Sunda purba sehingga menciptakan Gunung Tangkuban Parahu, Gunung Burangrang (disebut juga Gunung Sunda), dan Gunung Bukit Tunggul.
Adalah sangat mungkin bahwa orang Sunda purba telah menempati dataran tinggi Bandung dan menyaksikan letusan Plinian kedua yang menyapu pemukiman sebelah barat sungai Citarum (utara dan barat laut Bandung) selama periode letusan pada 55000-50000 tahun yang lalu saat Gunung Tangkuban Parahu tercipta dari sisa-sisa Gunung Sunda purba. Masa ini adalah masanya homo sapiens; mereka telah teridentifikasi hidup di Australia selatan pada 62000 tahun yang lalu, semasa dengan Manusia Jawa (Wajak) sekitar 50000 tahun yang lalu.

Sangkuriang dan Falsafah Sunda

Menurut abah Surya atau abah Hidayat Suryalaga, mantan Rektor Itenas Bandung, legenda atau sasakala Sangkuriang dimaksudkan sebagai cahaya pencerahan (Sungging Perbangkara) bagi siapa pun manusianya (tumbuhan cariang) yang masih bimbang akan keberadaan dirinya dan berkeinginan menemukan jatidiri kemanusiannya (Wayungyang). Hasil yang diperoleh dari pencariannya ini akan melahirkan kata hati (nurani) sebagai kebenaran sejati (Dayang Sumbi, Rarasati). Tetapi bila tidak disertai dengan kehati-hatian dan kesadaran penuh/eling (teropong), maka dirinya akan dikuasai dan digagahi oleh rasa kebimbangan yang terus menerus (digagahi si Tumang) yang akan melahirkan ego-ego yang egoistis, yaitu jiwa yang belum tercerahkan (Sangkuriang). Ketika Sang Nurani termakan lagi oleh kewaswasan (Dayang Sumbi memakan hati si Tumang) maka hilanglah kesadaran yang hakiki. Rasa menyesal yang dialami Sang Nurani dilampiaskan dengan dipukulnya kesombongan rasio Sang Ego (kepala Sangkuriang dipukul). Kesombongannya pula yang mempengaruhi “Sang Ego Rasio” untuk menjauhi dan meninggalkan Sang Nurani. Ternyata keangkuhan Sang Ego Rasio yang berlelah-lelah mencari ilmu (kecerdasan intelektual) selama pengembaraannya di dunia (menuju ke arah Timur). Pada ahirnya kembali ke barat yang secara sadar maupun tidak sadar selalu dicari dan dirindukannya yaitu Sang Nurani (Pertemuan Sangkuriang dengan Dayang Sumbi).
Walau demikian ternyata penyatuan antara Sang Ego Rasio (Sangkuriang) dengan Sang Nurani yang tercerahkan (Dayang Sumbi), tidak semudah yang diperkirakan. Berbekal ilmu pengetahuan yang telah dikuasainya Sang Ego Rasio (Sangkuriang) harus mampu membuat suatu kehidupan sosial yang dilandasi kasih sayang, interdependency – silih asih-asah dan silih asuh yang humanis harmonis, yaitu satu telaga kehidupan sosial (membuat Talaga Bandung) yang dihuni berbagai kumpulan manusia dengan bermacam ragam perangainya (Citarum). Sementara itu keutuhan jatidirinya pun harus dibentuk pula oleh Sang Ego Rasio sendiri (pembuatan perahu). Keberadaan Sang Ego Rasio itu pun tidak terlepas dari sejarah dirinya, ada pokok yang menjadi asal muasalnya (Bukit Tunggul, pohon sajaratun) sejak dari awal keberada-annya (timur, tempat awal terbit kehidupan). Sang Ego Rasio pun harus pula menunjukkan keberadaan dirinya (tutunggul, penada diri) dan pada akhirnya dia pun akan mempunyai keturunan yang terwujud dalam masyarakat yang akan datangd dan suatu waktu semuanya berakhir ditelan masa menjadi setumpuk tulang-belulang (gunung Burangrang).
Betapa mengenaskan, bila ternyata harapan untuk bersatunya Sang Ego Rasio dengan Sang Nurani yang tercerahkan (hampir terjadi perkawinan Sangkuriang dengan Dayang Sumbi), gagal karena keburu hadir sang titik akhir, akhir hayat dikandung badan (boeh rarang atau kain kafan). Akhirnya suratan takdir yang menimpa Sang Ego Rasio hanyalah rasa menyesal yang teramat sangat dan marah kepada “dirinya”. Maka ditendangnya keegoisan rasio dirinya, jadilah seonggok manusia transendental tertelungkup meratapi kemalangan yang menimpa dirinya (Gunung Tangkubanparahu).
Walau demikian lantaran sang Ego Rasio masih merasa penasaran, dikejarnya terus Sang Nurani yang tercerahkan dambaan dirinya (Dayang Sumbi) dengan harapan dapat luluh bersatu antara Sang Ego Rasio dengan Sang Nurani. Tetapi ternyata Sang Nurani yang tercerahkan hanya menampakkan diri menjadi saksi atas perilaku yang pernah terjadi dan dialami Sang Ego Rasio (bunga Jaksi).
Akhir kisah yaitu ketika datangnya kesadaran berakhirnya kepongahan rasionya (Ujungberung). Dengan kesadarannya pula, dicabut dan dilemparkannya sumbat dominasi keangkuhan rasio (gunung Manglayang). Maka kini terbukalah saluran proses berkomunikasi yang santun dengan siapa pun (Sanghyang Tikoro atau tenggorokan; B.Sunda: Hade ku omong goreng ku omong). Dan dengan cermat dijaga benar makanan yang masuk ke dalam mulutnya agar selalu yang halal bersih dan bermanfaat. (Sanghyang Tikoro = kerongkongan, genggerong).

Catatan Kaki

  1. ^ Koesoemadinata, R. The Origin and Pre-history of the Sundanese. Institute of Technology Bandung.

Rujukan

  1. Koesoemadinata, R. P., “Asal Usul dan Prasejarah Ki Sunda”, Sub theme” “Bidang Kajian Sejarah, Arkeologi dan filologi”, in Ajip Rosidi et.al (editor: Edi S.Ekadjati and A.Chaedar Alwasilah)
  2. Hidayat Suryalaga, Kajian Hermeneutika terhadap Legenda dan Mitos Gunung Tangkubanparahu dengan segala aspeknya, Hidayat Suryalaga, Orasi Ilmiah ketika Hari Wisuda Mahasiswa ITENAS, Bandung, 28 Mei 2005.

Asal Mula Gunung Ciremai dan Lingga(r)jati

Cerita dari Jawa Barat
1.Gunung Cereme
Gunung besar tempat bermusyawarahnya para wali, kemungkinan nama tersebut hanya kita maklumi bahwa gunung terbesar dan tertinggi di Jawa Barat hingga di beri nama Gunung Cereme, berasal dari kata “Pencereman” yang artinya “Perundingan” / musyawarah para wali. Oleh Belanda Gunung Cereme disebut Gunung Ciremai
2.Linggajati
Kata Linggajati adalah sebuah nama yang lahir karena perjalanan Sunan Gunungjati beserta 8 wali lainnya yang kalau kita Perbmbkan sampai sekarang nama tersebut masih dalam penelitian para ahli sejarah dan arkeologi, nama Linggajati kadang-kadang istilah tersebut juga tidak dihiraukan, seperti oleh seorang sekitar disebut Linggajati namun di dalam naskah perundingan antara pemerintah Indonesia dengan Belanda tencantum Perundingan Liaggarjati.

Beberapa pendapat dan arti tentang Desa Linggajati, antara lain :
a.Pendapat Sunana Kalijaga disebut LINGGAJATI dengan alasan sebagai tempat linggih (Iingga) Gusti Sunan Gunungjati
b.Pendapat Sunan Bonang
Diberi nama Linggarjati mempunyai alasan bahwa sebelum Sunan Gunungjati sampai ke puncak G. Gede beliau Linggar (berangkat) meninggalkan tempat setelah beristirahat dan¬bermusyawarah tanpa mengendarai kendaraan menggunakan ilmu sejati.
c.Pendapat Syeh Maulana Magribi
Desa itu diberi nama LINGGARJATI, mempunyai arti tempat penyiaran ilmu sejati.
d.Pendapat Sunan Kudus
Disebut LINGAJATI “nalingakeun ilmu sejata” karena justru di tempat itulah mereka bermusyawarah dan menjaga rahasia ilmu sejati jangan sampai diketahui orang banyak.
diambil dari berbagai sumber :cerita lisan dan tulisan yang tercecer

Mundinglaya Dikusumah

Cerita dari Jawa Barat
Mundinglaya Dikusumah adalah cerita rakyat dari masyarakat Sunda. Cerita rakyat tersebut menceritakan kehidupan seorang pangeran yang kemudian diangkat menjadi raja saat Prabu Siliwangi memerintah kerajaan tersebut. Kerajaan Sunda sendiri sering disebut oleh orang Sunda sebagai Pajajaran (nama ibukota kerajaan) setelah Cirebon dan Banten memisahkan diri dari kerajaan tersebut.
Sumber
Cerita rakyat ini berasal dari tradisi lisan orang Sunda yang disebut cerita pantun, yang kemudian ditulis dalam bentuk buku oleh para penulis Sunda baik dalam Bahasa Sunda maupun Bahasa Indonesia).[1] karya-karya roman yang mengadopsi cerita pantun Mundinglaya Dikusumah di antaranya
  • Pasini Jangji di Muaraberes karya Rohmat Tasdik Al-Garuti (dalam tiga bahasa: Sunda, Indonesia, dan Inggris)

Rangkuman

Prabu Silihwangi memiliki dua orang istri yaitu Nyimas Tejamantri dan Nyimas Padmawati yang menjadi permaisuri. Dari Nyimas Tejamantri, Prabu Silihwangi mendapat seorang anak yaitu pangeran Guru Gantangan. Sedangkan dari permaisuri Nyimas Padmawati, raja memperoleh anak yang diberi nama Mundinglaya. Beda umur antara pangeran Guru Gantangan dan pangeran Mundinglaya sangat jauh. Saat pangeran Guru Gantangan ditunjuk jadi bupati di Kutabarang dan sudah menikah, Mundinglaya masih anak-anak.
Karena tidak mempunyai anak, pangeran Guru Gantangan memungut anak dan diberi nama Sunten Jaya. Guru Gantangan juga tertarik untuk merawat Mundinglaya sebagai anaknya. Saat pangeran Guru Gantangan meminta Mundinglaya dari permaisuri Nyimas Padmawati, permaisuri memberikannya karena mengetahui bahwa pangeran Guru Gantangan sangat menyayangi pangeran Mundinglaya.
Saat pangeran Mundinglaya dewasa, pangeran Guru Gantangan lebih menyayangi pangeran Mundinglaya daripada pangeran Sunten Jaya. Hal ini disebabkan perbedaan karakter yang sangat jauh antara pangeran Mundinglaya dan pangeran Sunten Jaya. Pangeran Mundinglaya selain rupawan juga baik budi pekertinya sedangkan keponakannya sifatnya angkuh dan manja. Hal ini sangat membuat iri pangeran Sunten Jaya. Terlebih lagi ibunya juga sangat menyayangi pangeran Mundinglaya.
Hanya saja perhatian istri pangeran Guru Gantangan kepada pangeran Mundinglaya sangat berlebihan sehingga membuat pangeran Guru Gantangan cemburu. Akhirnya pangeran Mundinglaya dijebloskan kedalam penjara oleh saudara tirinya itu dengan alasan bahwa pangeran Mundinglaya mengganggu kehormatan wanita. Keputusan ini menjadikan mayarakat dan bangsawan Pajajaran terpecah dua, ada yang menyetujui dan ada yang menentang keputusan tersebut sehingga mengancam ketentraman kerajaan kearah permusuhan antar saudara.
Pada saat yang gawat ini, terjadi sesuatu yang aneh. Pada suatu malam, permaisuri Nyimas Padmawati bermimpi aneh. Dalam tidurnya, permaisuri melihat tujuh guriang, yaitu mahluk yang tinggal di puncak gunung. Diantara mereka ada yang membawa jimat yang disebut Layang Salaka Domas. Permaisuri mendengar perkataan guriang yang membawa jimat tersebut: “Pajajaran akan tenteram hanya jika seorang kesatria dapat mengambilnya dari Jabaning Langit.”
Segera setelah bangun pada pagi harinya, permaisuri menceritakan mimpi itu kepada raja. Prabu silihwangi sangat tertarik oleh mimpi permaisuri dan segera meminta seluruh rakyat juga bangsawan, termasuk pangeran Guru Gantangan dan pangeran Sunten Jaya, untuk berkumpul di depan halaman istana untuk membahas mimpinya permaisuri. Setelah seluruhnya berkumpul, raja berkata: “Adakah seorang kesatria yang berani pergi ke Jabaning Langit untuk mengambil jimat Layang salaka domas?”
Senyap! Tidak ada suara yang terdengar. Pangeran Sunten Jaya pun tidak mengeluarkan suaranya. Dia takut akan barhadapan dengan Jonggrang Kalapitung, seorang raksasa berbahaya yang selalu menghalangi jalan ke puncak gunung. Setelah beberapa saat, patih Lengser angkat bicara: “Paduka,” dia berkata, “setiap orang telah mendengarkan apa yang disampaikan paduka, kecuali masih ada satu orang yang belum mendengarkannya. Dia berada dalam penjara. Paduka belum menanyainya. Dia adalah pangeran Mundinglaya.” Mendengar ini, raja memerintahkan agar pangeran Mundinglaya dibawa menghadap. Patih Lengser kemudian meminta izin pangeran guru Gantangan untuk melepaskan pangeran Mundinglaya.
Saat pangeran Mundinglaya sudah berada di hadapannya, raja berkata: “Mundinglaya, maukah ananda mengambil jimat layang salaka domas, yang diperlukan untuk mencegah negara dari kehancuran akibat malapetaka?” Karena layang salaka domas penting bagi keselamatan negara, ananda akan pergi mencarinya, ayahanda,” kata pangeran Mundinglaya.
Prabu Silihwangi sangat senang mendengar jawaban ini. Demikian juga masyarakat dan para bangsawan. Bagi pangeran Mundinglaya, tugas ini juga berarti kebebasan jika dia berhasil mendapatkan layang salaka domas. Sementara bagi pangeran Sunten Jaya ini berarti menyingkirkan musuhnya, karena dia yakin bahwa pamannya akan dibunuh oleh Jonggrang Kalapitung. “Kakek,” kata pangeran Sunten Jaya, “dia adalah seorang tahanan, jika kakek membiarkannya pergi sekarang, tidak akan ada jaminan bahwa dia akan kembali.”
“Apa yang cucunda usulkan, Sunten Jaya?”
“Jika dia tidak kembali setelah sebulan, penjarakan kanjeng ibu Padmawati dalam istana.” Masyarakat dan bangsawan kaget mendengar permintaan ini. Prabu Silihwangi berbalik kepada pangeran Mundinglaya: “Bagaimana menurutmu?”
”Ananda akan kembali dalam sebulan dan setuju dengan usulan Sunten Jaya.”
Dalam beberap minggu, pangeran Mundinglaya diajari oleh patih Lengser ilmu perang dan cara menggunakan berbagai senjata sebagai bersiapan untuk menghadapi rintangan yang akan ditemui selama perjalanan ke Jabaning Langit. Kemudian pangeran Mundinglaya meninggalkan Pajajaran. Karena dia tidak pernah keluar dari ibukota tersebut, pangeran Mundinglaya tidak mengetahui jalan ke Jabaning Langit. Dengan berserah diri kepada Tuhan yang Maha Kuasa, sang pangeran pergi melewati berbagai hutan lebat untuk menemukan Jabaning Langit dan bertemu dengan para guriang.
Dalam perjalanan, pangeran Mundinglaya melewati kerajaan kecil Muara Beres (atau Tanjung Barat) yang merupakan bawahan dari Pajajaran. Disana pangeran Mundinglaya bertemu dan jatuh hati dengan putri kerajaan yang bernama Dewi Kania atau Dewi Kinawati. Mereka saling berjanji akan bertemu lagi setelah pangeran Mundinglaya berhasil menjalankan tugas dari Prabu silihwangi untuk memperoleh jimat layang salaka domas.
Pangeran Mundinglaya meneruskan perjalanannya. Tiba-tiba di tengah perjalanan dia dicegat oleh raksasa Janggrang Kalapitung yang berdiri di depannya. “Mengapa kamu memasuki wilayahku? Apakah kamu menyerahkan diri sebagai santapanku?”
“Coba saja kalau bisa!” jawab pangeran Mundinglaya dengan tenang. Jonggrang Kalapitung menubruknya tapi pangeran Mundinglaya berkelit.
Berkali-kali si raksasa menyerang pangeran Mundinlaya, tapi lagi dan lagi jatuh ke tanah sampai akhirnya kehabisan nafas. Dengan kerisnya, pangeran Mundinglaya mengancam musuhnya:
“Katakan dimana Jabaning Langit?”
“Di dalam dirimu.” Berpikiran bahwa si raksasa berbohong, pangeran Mundinglaya menekankan keris lebih dalam ke leher si raksasa. “Jangan berbohong! Di manakah Jabaning Langit?”
“Di dalam hatimu.” Setelah itu, pangeran Mundinglaya melepaskan raksasa tersebut, sambil berkata: “Aku membebaskanmu, tapi jangan ganggu rakyat Pajajaran lagi.” Jonggrang Kalapitung menuruti dan berterima kasih kepada pangeran Mundinglaya dan meninggalkan Pajajaran selamanya.
Ketika dia pergi, pangeran Mundinglaya menemukan suatu tempat untuk beristirahat dan berdoa meminta tolong kepada tuhan yang Maha Esa untuk diberikan jalan. Suatu hari dia merasakan seolah-olah terangkat dari tempatnya dan terbang ke suatu tempat yang sangat terang. Di sana dia diterima oleh tujuh guriang, mahluk-mahluk supranatural yang menjaga Layang Salaka Domas.
Mereka bertanya kepada pangeran Mundinglaya mengapa berani datang ke Jabaning Langit. “Tujuanku datang ke sini adalah untuk mengambil Layang Salaka Domas yang diperlukan oleh negaraku sebagai obat untuk mencegah permusuhan antar saudara. Akan banyak orang menderita dan mati memperebutkan yang tidak jelas.” “Kami menghargaimu, pangeran Mundinglaya, tapi kami tidak dapat memberimu Layang Salaka Domas karena ini bukan untuk manusia. Bagaimana kalau pemberian lain sebagai hadiah untukmu? Misalnya seorang putri cantik atau kesejahteraan, atau kami dapat menjadikanmu manusia tersuci di dunia?”
“Aku tidak memerlukan semua itu, jika rakyat Pajajaran terlibat dalam perang.”
“Kalau begitu, kamu harus merebutnya setelah mengalahkan kami.” Maka terjadilah perkelahian. Karena para guriang sangat kuat, pangeran Mundinglaya terjatuh dan meninggal. Segera setelah itu, muncul mahluk supranatural lainnya, yaitu Nyi Pohaci yang menampakkan diri dan menghidupkan kembali pangeran Mundinglaya. Pangeran Munding Laya bersiap kembali untuk bertempur dengan para guriang.
“Tida perlu ada lagi pertempuran, karena engkau telah menunjukkan sifatmu yang sebenarnya,” kata salah satu dari tujuh guriang, “jujur, tidak tamak. Engkau mempunyai hak untuk membawa Layang Salaka Domas.” Dan dia kemudian memberikannya kepada pangeran Mundinglaya. Pangeran Mundinglaya sangat bergembira dan mengucapkan terima kasih. Dia juga berterima kasih kepada Nyi Pohaci atas bantuannya. Dengan dipandu oleh tujuh guriang yang kemudian menyebut diri mereka sebagai Gumarang Tunggal, pangeran Mundinglaya pergi pulang ke Pajajaran.
Di Pajajaran, pangeran sunten Jaya mengganggu ketentraman permaisuri. Kepada Prabu Silihwangi, pangeran Sunten Jaya mengatakan bahwa permaisuri sebenarnya tidak bermimpi, bahwa dia berdusta untuk membebaskan putranya dari penjara. Dengan demikian, dia membujuk Prabu Silihwangi untuk menghukum mati permaisuri.
Pangeran Sunten Jaya bahkan lebih jauh berniat untuk mengganggu ketentraman Dewi Kinawati di Muara Beres dengan menceritakan bahwa pangeran Mundinglaya telah dibunuh oleh Jonggrang Kalapitung. Tentara digelar untuk mendatangi kerajaan itu. Pada saat yang gawat tersebut, pangeran Mundinglaya beserta ajudannya telah sampai ke Pajajaran. Mereka senang dan berteriak kegirangan. Pangeran Sunten Jaya dan pengikutnya diusir.
Setelah itu. Prabu Silihwangi menobatkan pangeran Mundinglaya sebagai raja Pajajaran menggantikannya dengan gelar Mundinglaya Dikusumah.
Tidak lama setelah itu, Mundinglaya Dikusumah menikahi Dewi Kinawati dan menjadikannya sebagai permaisuri dan Pajajaran menjadi negara yang adil makmur dan aman.

Jaka Tarub

Ki Jaka Tarub, yang setelah tua bergelar Ki Ageng Tarub, adalah tokoh legendaris yang dianggap sebagai leluhur raja-raja Kesultanan Mataram, dari pihak putrinya, yaitu yang bernama Retno Nawangsih.

Asal-Usul

Nama Jaka Tarub terdapat dalam Babad Tanah Jawi, yaitu kumpulan naskah yang berisi sejarah Kesultanan Mataram. Tidak diketahui siapa nama asli Jaka Tarub, ataupun nama asli kedua orang tuanya.
Dikisahkan ada seorang pemuda, sebut saja Jaka Kudus, kabur dari rumah karena bertengkar dengan ayahnya (KI Ageng Kudus). Di tengah jalan Jaka Kudus memerkosa putri Ki Ageng Kembanglampir sampai hamil. Gadis itu akhirnya meninggal saat melahirkan.
Bayi laki-laki yang ditinggal mati ibunya itu, ditemukan seorang pemburu bernama Ki Ageng Selandaka. Si bayi digendong sambil mengejar burung sampai ke desa Tarub. Karena merasa terganggu, Ki Ageng Selandaka akhirnya meninggalkan bayi tersebut di jalanan.
Si bayi ditemukan seorang janda, sebut saja Nyai Tarub, dan dijadikan anak angkat. Oleh penduduk sekitar ia dipanggil dengan nama Jaka Tarub.


Pernikahan Jaka Tarub

Jaka Tarub tumbuh menjadi seorang pemuda yang gemar berburu. Suatu hari ia melanggar larangan ibu angkatnya supaya tidak berburu sampai kawasan Gunung Keramat. Di gunung itu terdapat sebuah telaga tempat tujuh bidadari mandi.
Jaka Tarub mencuri selendang salah satu bidadari. Ketika acara mandi selesai, enam dari tujuh bidadari tersebut kembali ke kahyangan. Sisanya yang satu orang bingung mencari selendangnya, karena tanpa itu ia tidak mampu terbang.
Jaka Tarub muncul pura-pura datang menolong. Bidadari yang bernama Dewi Nawangwulan itu bersedia ikut pulang ke rumahnya. Keduanya akhirnya menikah dan mendapatkan seorang putri bernama Retno Nawangsih.
Selama hidup berumah tangga, Nawangwulan selalu memakai kesaktiannya. Sebutir beras bisa dimasaknya menjadi sebakul nasi. Suatu hari Jaka Tarub melanggar larangan Nawangwulan supaya tidak membuka tutup penanak nasi. Akibatnya kesaktian Nawangwulan hilang. Sejak itu ia menanak nasi seperti umumnya wanita biasa.
Maka, persediaan beras menjadi cepat habis. Ketika beras tinggal sedikit, Nawangwulan menemukan selendang pusakanya tersembunyi di dalam lumbung. Nawangwulan pun marah mengetahui kalau suaminya yang telah mencuri benda tersebut.
Jaka Tarub memohon istrinya untuk tidak kembali ke kahyangan. Namun tekad Nawangwulan sudah bulat. Hanya demi bayi Nawangsih ia rela turun ke bumi untuk menyusui saja.

Pernikahan Nawangsih

Jaka Tarub kemudian menjadi pemuka desa bergelar Ki Ageng Tarub, dan bersahabat dengan Brawijaya raja Majapahit. Pada suatu hari Brawijaya mengirimkan keris pusaka Kyai Mahesa Nular supaya dirawat oleh Ki Ageng Tarub.
Utusan Brawijaya yang menyampaikan keris tersebut bernama Ki Buyut Masahar dan Bondan Kejawan, anak angkatnya. Ki Ageng Tarub mengetahui kalau Bondan Kejawan sebenarnya putra kandung Brawijaya yang tidak diakui. Maka, pemuda itu pun diminta agar tinggal bersama di desa Tarub.
Sejak saat itu Bondan Kejawan menjadi anak angkat Ki Ageng Tarub, dan diganti namanya menjadi Lembu Peteng. Ketika Nawangsih tumbuh dewasa, keduanya pun dinikahkan.
Setelah Jaka Tarub meninggal dunia, Lembu Peteng alias Bondan Kejawan menggantikannya sebagai Ki Ageng Tarub yang baru. Nawangsih sendiri melahirkan seorang putra, yang setelah dewasa bernama Ki Getas Pandawa.
Ki Ageng Getas Pandawa kemudian memiliki putra bergelar Ki Ageng Sela, yang merupakan kakek buyut Panembahan Senapati, pendiri Kesultanan Mataram.

Analisis Kisah Jaka Tarub

Babad Tanah Jawi adalah naskah sejarah Kesultanan Mataram. Pemberitaan tentang Panembahan Senapati dan para penggantinya memang mendekati fakta sejarah. Akan tetapi kisah-kisah sebelum Panembahan Senapati cenderung bersifat khayal, terutama seputar Kerajaan Majapahit.
Sesungguhnya, Kesultanan Mataram didirikan oleh keluarga petani, bukan keluarga bangsawan. Oleh karena itu, demi mendapat legitimasi dan pengakuan dari rakyat Jawa, diciptakanlah tokoh-tokoh mitos yang serba istimewa sebagai leluhur raja-raja Mataram.
Dalam hal ini, tokoh Nawangsih yang dinikahi Bondan Kejawan disebut sebagai wanita istimewa. Nawangsih merupakan anak campuran antara manusia dan bidadari. Kisah ini mengingatkan pada tokoh Ken Arok dalam Pararaton. Pihak Majapahit juga ingin menunjukkan bahwa leluhur mereka, yaitu Ken Arok adalah manusia istimewa setengah dewa.

Kepustakaan

  • Babad Tanah Jawi. 2007. (terj.). Yogyakarta: Narasi
  • Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius
  • Slamet Muljana. 2005. Runtuhnya Kerajaan Jindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara (terbitan ulang 1968). Yogyakarta: LKIS

Loro Jonggrang

Cerita dari Jawa Tengah

Alkisah, pada dahulu kala terdapat sebuah kerajaan besar yang bernama Prambanan.
Rakyatnya hidup tenteran dan damai. Tetapi, apa yang terjadi kemudian?
Kerajaan Prambanan diserang dan dijajah oleh negeri Pengging.
Ketentraman Kerajaan Prambanan menjadi terusik. Para tentara tidak
mampu menghadapi serangan pasukan Pengging. Akhirnya, kerajaan
Prambanan dikuasai oleh Pengging, dan dipimpin oleh Bandung Bondowoso.

Bandung Bondowoso seorang yang suka memerintah dengan kejam. “Siapapun yang
tidak menuruti perintahku, akan dijatuhi hukuman berat!”, ujar Bandung
Bondowoso pada rakyatnya. Bandung Bondowoso adalah seorang yang sakti
dan mempunyai pasukan jin. Tidak berapa lama berkuasa, Bandung
Bondowoso suka mengamati gerak-gerik Loro Jonggrang, putri Raja
Prambanan yang cantik jelita. “Cantik nian putri itu. Aku ingin dia
menjadi permaisuriku,” pikir Bandung Bondowoso.
Esok harinya, Bondowoso mendekati Loro Jonggrang. “Kamu cantik sekali, maukah kau
menjadi permaisuriku ?”, Tanya Bandung Bondowoso kepada Loro Jonggrang.
Loro Jonggrang tersentak, mendengar pertanyaan Bondowoso. “Laki-laki
ini lancang sekali, belum kenal denganku langsung menginginkanku
menjadi permaisurinya”, ujar Loro Jongrang dalam hati. “Apa yang harus
aku lakukan ?”. Loro Jonggrang menjadi kebingungan. Pikirannya
berputar-putar.
Jika ia menolak, maka Bandung Bondowoso akan marah
besar dan membahayakan keluarganya serta rakyat Prambanan. Untuk
mengiyakannya pun tidak mungkin, karena Loro Jonggrang memang tidak
suka dengan Bandung Bondowoso. “Bagaimana, Loro Jonggrang ?” desak
Bondowoso. Akhirnya Loro Jonggrang mendapatkan ide. “Saya bersedia
menjadi istri Tuan, tetapi ada syaratnya,” Katanya. “Apa syaratnya?
Ingin harta yang berlimpah? Atau Istana yang megah?”. “Bukan itu,
tuanku, kata Loro Jonggrang. Saya minta dibuatkan candi, jumlahnya
harus seribu buah. “Seribu buah?” teriak Bondowoso. “Ya, dan candi itu
harus selesai dalam waktu semalam.” Bandung Bondowoso menatap Loro
Jonggrang, bibirnya bergetar menahan amarah.
Sejak saat itu Bandung Bondowoso berpikir bagaimana caranya membuat 1000 candi. Akhirnya ia bertanya kepada penasehatnya. “Saya percaya tuanku bias membuat candi
tersebut dengan bantuan Jin!”, kata penasehat. “Ya, benar juga usulmu,
siapkan peralatan yang kubutuhkan!” Setelah perlengkapan di
siapkan. Bandung Bondowoso berdiri di depan altar batu. Kedua lengannya
dibentangkan lebar-lebar. “Pasukan jin, Bantulah aku!” teriaknya dengan
suara menggelegar. Tak lama kemudian, langit menjadi gelap. Angin
menderu-deru. Sesaat kemudian, pasukan jin sudah mengerumuni Bandung
Bondowoso. “Apa yang harus kami lakukan Tuan ?”, tanya pemimpin jin.
“Bantu aku membangun seribu candi,” pinta Bandung Bondowoso.
Para jin segera bergerak ke sana kemari, melaksanakan tugas masing-masing. Dalam
waktu singkat bangunan candi sudah tersusun hampir mencapai seribu
buah. Sementara itu, diam-diam Loro Jonggrang mengamati dari
kejauhan. Ia cemas, mengetahui Bondowoso dibantu oleh pasukan jin.
“Wah, bagaimana ini?”, ujar Loro Jonggrang dalam hati. Ia mencari akal.
Para dayang kerajaan disuruhnya berkumpul dan ditugaskan mengumpulkan
jerami. “Cepat bakar semua jerami itu!” perintah Loro Jonggrang.
Sebagian dayang lainnya disuruhnya menumbuk lesung. Dung…
dung…dung! Semburat warna merah memancar ke langit dengan diiringi
suara hiruk pikuk, sehingga mirip seperti fajar yang menyingsing.
Pasukan jin mengira fajar sudah menyingsing. “Wah, matahari akan terbit!” seru
jin. “Kita harus segera pergi sebelum tubuh kita dihanguskan matahari,”
sambung jin yang lain. Para jin tersebut berhamburan pergi meninggalkan
tempat itu. Bandung Bondowoso sempat heran melihat kepanikan pasukan
jin. Paginya, Bandung Bondowoso mengajak Loro Jonggrang ke
tempat candi. “Candi yang kau minta sudah berdiri!”. Loro Jonggrang
segera menghitung jumlah candi itu. Ternyata jumlahnya hanya 999 buah!.
“Jumlahnya kurang satu!” seru Loro Jonggrang. “Berarti tuan telah gagal
memenuhi syarat yang saya ajukan”. Bandung Bondowoso terkejut
mengetahui kekurangan itu.
Ia menjadi sangat murka. “Tidak mungkin…”,
kata Bondowoso sambil menatap tajam pada Loro Jonggrang. “Kalau begitu
kau saja yang melengkapinya!” katanya sambil mengarahkan jarinya pada
Loro Jonggrang. Ajaib! Loro Jonggrang langsung berubah menjadi patung
batu. Sampai saat ini candi-candi tersebut masih ada dan terletak di
wilayah Prambanan, Jawa Tengah dan disebut Candi Loro Jonggrang.

Angling Darma

Cerita dari Jawa
Prabu Anglingdarma adalah nama seorang tokoh legenda dalam tradisi Jawa, yang dianggap sebagai titisan Batara Wisnu. Salah satu keistimewaan tokoh ini adalah kemampuannya untuk mengetahui bahasa segala jenis binatang. Selain itu, ia juga disebut sebagai keturunan Arjuna, seorang tokoh utama dalam kisah Mahabharata.

Garis silsilah

Anglingdarma merupakan keturunan ketujuh dari Arjuna, seorang tokoh utama dalam kisah Mahabharata. Hal ini dapat dimaklumi karena menurut tradisi Jawa, kisah Mahabharata dianggap benar-benar terjadi di Pulau Jawa.
Dikisahkan bahwa, Arjuna berputra Abimanyu. Abimanyu berputra Parikesit. Parikesit berputra Yudayana. Yudayana berputra Gendrayana. Gendrayana berputra Jayabaya. Jayabaya memiliki putri bernama Pramesti, dan dari rahim Pramesti inilah lahir seorang putra bernama Anglingdarma.


Kelahiran

Semenjak Yudayana putra Parikesit naik takhta, nama kerajaan diganti dari Hastina menjadi Yawastina. Yudayana kemudian mewariskan takhta Yawastina kepada Gendrayana. Pada suatu hari Gendrayana menghukum adiknya yang bernama Sudarsana karena kesalahpahaman. Batara Narada turun dari kahyangan sebagai utusan dewata untuk mengadili Gendrayana. Sebagai hukuman, Gendrayana dibuang ke hutan sedangkan Sudarsana dijadikan raja baru oleh Narada.
Gendrayana membangun kerajaan baru bernama Mamenang. Ia kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Jayabaya. Sementara itu, Sudarsana digantikan putranya yang bernama Sariwahana. Sariwahana kemudian mewariskan takhta Yawastina kepada putranya yang bernama Astradarma.
Antara Yawastina dan Mamenang terlibat perang saudara berlarut-larut. Atas usaha pertapa kera putih bernama Hanoman yang sudah berusia ratusan tahun, kedua negeri pun berdamai, yaitu melalui perkawinan Astradarma dengan Pramesti, putri Jayabaya.
Pada suatu hari Pramesti mimpi bertemu Batara Wisnu yang berkata akan lahir ke dunia melalui rahimnya. Ketika bangun tiba-tiba perutnya telah mengandung. Astradarma marah menuduh Pramesti telah berselingkuh. Ia pun mengusir istrinya itu pulang ke Mamenang.
Jayabaya marah melihat keadaan Pramesti yang terlunta-lunta. Ia pun mengutuk negeri Yawastina tenggelam oleh banjir lumpur. Kutukan tersebut menjadi kenyataan. Astradarma pun tewas bersama lenyapnya istana Yawastina.
Setelah kematian suaminya, Pramesti melahirkan seorang putra yang diberi nama Anglingdarma. Kelahiran bayi titisan Wisnu tersebut bersamaan dengan wafatnya Jayabaya yang mencapai moksa. Takhta Mamenang kemudian diwarisi oleh Jaya Amijaya, saudara Pramesti.

Perkawinan pertama

Setelah dewasa, Anglingdarma membawa ibunya pindah ke sebuah negeri yang dibangunnya, bernama Malawapati. Di sana ia memerintah dengan bergelar Prabu Anglingdarma, atau Prabu Ajidarma.
Anglingdarma sangat gemar berburu. Pada suatu hari ia menolong seorang gadis bernama Setyawati yang dikejar harimau. Setyawati lalu diantarkannya pulang ke rumah ayahnya, seorang pertapa bernama Resi Maniksutra. Tidak hanya itu, Anglingdarma juga melamar Setyawati sebagai istrinya.
Kakak Setyawati yang bernama Batikmadrim telah bersumpah barangsiapa ingin menikahi adiknya harus dapat mengalahkannya. Maka terjadilah pertandingan yang dimenangkan oleh Anglingdarma. Sejak saat itu, Setyawati menjadi permaisuri Anglingdarma sedangkan Batikmadrim diangkat sebagai patih di Kerajaan Malawapati.
Pada suatu hari ketika sedang berburu, Anglingdarma memergoki istri gurunya yang bernama Nagagini sedang berselingkuh dengan seekor ular tampar. Anglingdarma pun membunuh ular jantan sedangkan Nagagini pulang dalam keadaan terluka.
Nagagini kemudian menyusun laporan palsu kepada suaminya, yaitu Nagaraja supaya membalas dendam kepada Anglingdarma. Nagaraja pun menyusup ke dalam istana Malawapati dan menyaksikan Anglingdarma sedang membicarakan perselingkuhan Nagagini kepada Setyawati. Nagaraja pun sadar bahwa istrinya yang salah. Ia pun muncul dan meminta maaf kepada Anglingdarma.
Nagaraja mengaku ingin mencapai moksa. Ia kemudian mewariskan ilmu kesaktiannya berupa Aji Gineng kepada Anglingdarma. Ilmu tersebut harus dijaga dengan baik dan penuh rahasia. Setelah mewariskan ilmu tersebut Nagaraja pun wafat.
Sejak mewarisi ilmu baru, Anglingdarma menjadi paham bahasa binatang. Pernah ia tertawa menyaksikan percakapan sepasang cicak. Hal itu membuat Setyawati tersinggung. Anglingdarma menolak berterus terang karena terlanjur berjanji akan merahasiakan Aji Gineng, membuat Setyawati bertambah marah. Setyawati pun memilih bunuh diri dalam api karena merasa dirinya tidak dihargai lagi. Anglingdarma berjanji lebih baik menemani Setyawati mati, daripada harus membocorkan rahsia ilmunya.
Ketika upacara pembakaran diri digelar, Anglingdarma sempat mendengar percakapan sepasang kambing. Dari percakapan itu Anglingdarma sadar kalau keputusannya menemani Setyawati mati adalah keputusan emosional yang justru merugikan rakyat banyak. Maka, ketika Setyawati terjun ke dalam kobaran api, Anglingdarma tidak menyertainya.

Masa hukuman

Perbuatan Anglingdarma yang mengingkari janji sehidup semati dengan Setyawati membuat dirinya harus menjalani hukuman buang sampai batas waktu tertentu sebagai penebus dosa. Kerajaan Malawapati pun dititipkannya kepada Batikmadrim.
Dalam perjalanannya, Anglingdarma bertemu tiga orang putri bernama Widata, Widati, dan Widaningsih. Ketiganya jatuh cinta kepada Anglingdarma dan menahannya untuk tidak pergi. Anglingdarma menurut sekaligus curiga karena ketiga putri tersebut suka pergi malam hari secara diam-diam.
Anglingdarma menyamar sebagai burung gagak untuk menyelidiki kegiatan rahasia ketiga putri tersebut. Ternyata setiap malam ketiganya berpesta makan daging manusia. Anglingdarma pun berselisih dengan mereka mengenai hal itu. Akhirnya ketiga putri mengutuknya menjadi seekor belibis putih.
Belibis putih tersebut terbang sampai ke wilayah Kerajaan Bojanagara. Di sana ia dipelihara seorang pemuda desa bernama Jaka Geduk. Pada saat itu Darmawangsa raja Bojonegoro sedang bingung menghadapi pengadilan di mana seorang wanita bernama Bermani mendapati suaminya yang bernama Bermana berjumlah dua orang.
Atas petunjuk belibis putih, Jaka Geduk berhasil membongkar Bermana palsu kembali ke wujud aslinya, yaitu Jin Wiratsangka. Atas keberhasilannya itu, Jaka Geduk diangkat sebagai hakim negara, sedangkan belibis putih diminta sebagai peliharaan Ambarawati, putri Darmawangsa.

Kembali ke Malawapati

Anglingdarma yang telah berwujud belibis putih bisa berubah ke wujud manusia pada malam hari saja. Setiap malam ia menemui Ambarawati dalam wujud manusia. Mereka akhirnya menikah tanpa izin orang tua. Dari perkawinan itu Ambarawati pun mengandung.
Darmawangsa heran dan bingung mendapati putrinya mengandung tanpa suami. Kebetulan saat itu muncul seorang pertapa bernama Resi Yogiswara yang mengaku siap menemukan ayah dari janin yang dikandung Ambarawati.
Yogiswara kemudian menyerang belibis putih peliharaan Ambarawati. Setelah melalui pertarungan seru, belibis putih kembali ke wujud Anglingdarma, sedangkan Yogiswara berubah menjadi Batikmadrim. Kedatangan Batikmadrim adalah untuk menjemput Anglingdarma yang sudah habis masa hukumannya.
Anglingdarma kemudian membawa Ambarawati pindah ke Malawapati. Dari perkawinan kedua itu lahir seorang putra bernama Anglingkusuma, yang setelah dewasa menggantikan kakeknya menjadi raja di Kerajaan Bojonegoro.

Lutung Kasarung

Cerita dari Jawa Barat
Alkisah, Prabu Tapa Agung memutuskan untuk lengser keprabon. Dari 7 puteri yang dimilikinya, beliau menunjuk putri Purbasari, putri bungsunya sebagai penerus tahta. Keputusan ini menimbulkan polemik di kerajaan karena dianggap tidak sesuai dengan tradisi. Mestinya tampuk kekuasaan jatuh pada si sulung. Sang prabu punya alasan sendiri. Si bungsu dianggap lebih berluhur budi. Menurut beliau, hanya dengan keluhuran budi seorang pemimpin dapat memerintah dengan adil.
Sepeninggal sang raja. Diam-diam si sulung, putri Purbararang, meminta bantuan seorang sakti guna mendatangkan bala. Purbasari tiba-tiba terjangkit penyakit kulit. Desas-desus ditiupkan oleh Purbararang, bala ini adalah buah kutukan dewata akibat ayahanda telah menyalahi tradisi. Demi menutup aib kerajaan, si bungsu diungsikan ke hutan.
Sementara itu, di kahyangan, seorang pangeran Guruminda sedang di wasiati sunan ambu, ibunya, agar segera mencari pendamping hidup. Di kahyangan banyak sekali putri yang cantik-cantik. Para pohaci. Namun tidak ada satupun yang menarik hatinya. Maka, sang bunda menitahkan ia untuk pergi ke buana panca tengah, tempat manusia bermukim. Mungkin di sanalah engkau akan menemukan cinta sejatimu, sabda sang bunda.
Tapi bagaimana ananda bisa tahu bahwa gadis yang hamba suka adalah cinta sejati. Sang bunda berhening-cipta sejenak, dan memutuskan mengubah pangeran dalam wujud seekor lutung. Sang bunda berkata, bila gadis itu adalah cinta sejatimu, kelak melalui gadis itulah kau dapat menjelma dalam wujud aslimu. Pangeran Guruminda.
Setelah bersembah sujud, memohon restu sang bunda, turunlah sang lutung ke bumi. Di sebuah hutan, ia bertemu dengan gadis yang tubuhnya terkena penyakit kulit. Sangat buruk dan mengeluarkan bau busuk. Tapi air muka sang putri terlihat memancarkan kebaikan dan keteduhan. Ia dikelilingi oleh sahabat demikian banyak. Seluruh penghuni rimba raya tidak ada yang menganggunya, bahkan selalu menemani dan membantunya.
Dengan cepat, lutung menjadi salah satu sahabatnya. Sejak mengenal lutung. Sang putri tidak perlu lagi berpayah-payah mencari makan. Setiap hari berbagai makanan sudah disediakan oleh lutung. Tidak hanya makanan, bunga-bunga cantik selalu tersedia untuk menghias tempat tinggal sang putri dan penghias gelung rambut indahnya.
Hari demi hari. Persahabatan diantara mereka makin lekat. Sang putri sangat menyayangi si lutung, demikian pula sebaliknya. Sang putri kerapkali menceritakan persoalan hidupnya kepada lutung.
Suatu ketika, saat sang putri membawa lutung berjalan-jalan, lutung tiba-tiba berlari ke suatu tempat. Tidak mau kehilangan lutung kesayangannya, sang putri lari mengejar hingga ke sebuah danau. Di tepi danau sang putri tertegun. Terpesona akan kesegaran dan jernihnya air danau tersebut. Beliau segera mandi disana. Anehnya begitu selesai mandi, hilanglah semua penyakit kulitnya. Bahkan bertambah kemilau indah kecantikannya. Sang puteri sangat berterima kasih pada lutung yang sudah membawanya pada danau tersebut. Karena penyakitnya sudah sembuh, puteri kembali ke istana. Tapi sang kakak yang tidak mau tahtanya diambil, malah mengajaknya adu tanding. Sang kakak membuka gelung rambutnya dan berkata bila rambut adiknya lebih panjang, ia akan menyerahkan tampuk kerajaan. Ternyata sang adik berambut lebih panjang.
Sang kakak masih tidak puas, ia mengatakan bahwa syarat menjadi ratu harus memiliki pasangan hidup. Sang kakak sudah memiliki pasangan: pangeran indrajaya.
Tantangan ini membuat sedih putri Purbasari, bagaimana tidak, selama ini ia hanya bergaul dengan binatang hutan tidak ada seorang pemudapun yang ia kenal. Dengan lirih, sang dewi berucap pada lutung,”kamulah yang paling dekat denganku selama ini. seandainya engkau manusia pastilah kau sudah ku jadikan pendamping hidupku”. Ucapan sang dewi bagai mantera pelepas sihir. Seketika itu pula lutung berubah wujud, menjelma jadi wujud asalnya saat di kahyangan, pangeran Guruminda.
Pangeran Guruminda segera menyatakan bahwa ia adalah pendamping putri Purbasari. Dan tahta kerajaanpun di ambil alih oleh yang semestinya, sesuai wasiat sang prabu.
Tamat.

Pak Sakerah

Cerita dari Jawa Timur
Sakera adalah seorang tokoh pejuang yang lahir di kelurahan Raci Kota Bangil, Pasuruan, Jatim, Indonesia. Ia berjuang melawan penjajahan Belanda pada awal abad ke-19. Sakera sadalah seorang jagoan daerah yang melawan penjajah Belanda di perkebunan tebu Kancil Mas Bangil. Legenda jagoan berdarah Bangil ini sangat populer di Jawa Timur utamanya di Pasuruan dan Madura.
Sakera bernama asli Sadiman yang bekerja sebagai mandor di perkebunan tebu milik pabrik gula kancil Mas Bangil. Ia dikenal sebagai seorang mandor yang baik hati dan sangat memperhatikan kesejahteraan para pekerja hingga dijuluki Pak Sakera (dalam bahasa kawi sakera memiliki arti ringan tangan, akrab/mempunyai banyak teman).
Suatu saat setelah musim giling selesai, pabrik gula tersebut membutuhkan banyak lahan baru untuk menanam tebu. Karena kepentingan itu orang Belanda pimpinan ambisius perusahaan ini ingin membeli lahan perkebunan yang seluas-luas dengan harga semurah-murahnya.dengan cara yang licik orang belanda itu menyuruh carik Rembang untuk bisa menyediakan lahan baru bagi perusahaan dalam jangka waktu singkat dan murah, dan dengan iming-iming harta dan kekayaan hingga carik Rembang bersedia memenuhi keinginan tersebut. Carik Rembang menggunakan cara-cara kekerasan kepada rakyat dalam mengupayakan tanah untuk perusahaan.
Sakera melihat ketidak adilan ini mencoba selalu membela rakyat dan berkali kali upaya carik Rembang gagal. Carik Rembang melaporkan hal ini kepada pemimpin perusahaan. Pemimpin perusahaan marah dan mengutus wakilnya Markus untuk membunuh Sakera. Suatu hari di perkebunan pekerja sedang istirahat, Markus marah-marah dan menghukum para pekerja serta menantang Sakera. Sakera yang dilapori hal ini marah dan membunuh Markus serta pengawalnya di kebon tebu. Sejak saat itu Sakera menjadi buronan polisi pemerintah Hindia Belanda. Suatu saat ketika Sakera berkunjung ke rumah ibunya, disana ia dikeroyok oleh carik Rembang dan polisi Belanda. Karena ibu Sakera diancam akan dibunuh maka Sakera ahirnya menyerah, Sakera pun masuk penjara Bangil.
Siksaan demi siksaan dilakukan polisi belanda kepada sakera setiap hari. selama dipenjara Pak Sakera selalu kangen dengan keluarga dirumahnya, Sakera memiliki istri yang sangat cantik bernama Marlena dan seorang keponakan bernama Brodin. Berbeda dengan Sakera yang berjiwa besar, Brodin adalah pemuda nakal yang suka berjudi dan sembunyi-sembunyi mengincar Marlena istri Sakera. Berkali kali Brodin berusaha untuk mendekati Marlena. Sementara Sakera ada dipenjara, Brodin berhasil berselingkuh dengan Marlena.
Ketika kabar itu sampai di telinga Sakera maka Sakera marah dan kabur dari penjara. Brodin pun tewas dibunuh Sakera. Kemudian Pak Sakera melakukan balas dendam secara berturut turut, dimulai Carik Rembang dibunuh, dilanjutkan dengan menghabisi para petinggi perkebunan yang memeras rakyat. Bahkan kepala polisi Bangil pun ditebas tanganya dengan senjata khasnya ‘Clurit’ ketika mencoba menangkap Sakera. Dengan cara yang licik pula polisi belanda mendatangi teman seperguruan sakera yang bernama Aziz untuk mencari kelemahan Pak Sakera. Dengan iming-iming akan diberi imbalan kekayaan oleh Goverment Belanda di Bangil Aziz menjebak Sakera dengan mengadakan tayuban, karena tahu Sakera paling senang acara tayuban akhirnya Sakera pun terjebak dan dilumpuhkan ilmunya degan pukulan bambu apus. Lagi-lagi belanda berhasil mertangkap kembali Pak Sakera yang kemudian diadili oleh Government Bangil dan diputuskan untuk dihukum gantung.
Sakera gugur digantung di penjara Bangil dan Ia dimakamkan di Bekacak, Kelurahan Kolursari (daerah paling selatan Kota Bangil).

Bawang Merah dan Bawang Putih

Jaman dahulu kala di sebuah desa tinggal sebuah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu dan seorang gadis remaja yang cantik bernama bawang putih. Mereka adalah keluarga yang bahagia. Meski ayah bawang putih hanya pedagang biasa, namun mereka hidup rukun dan damai. Namun suatu hari ibu bawang putih sakit keras dan akhirnya meninggal dunia. Bawang putih sangat berduka demikian pula ayahnya.

Di desa itu tinggal pula seorang janda yang memiliki anak bernama Bawang Merah. Semenjak ibu Bawang putih meninggal, ibu Bawang merah sering berkunjung ke rumah Bawang putih. Dia sering membawakan makanan, membantu bawang putih membereskan rumah atau hanya menemani Bawang Putih dan ayahnya mengobrol. Akhirnya ayah Bawang putih berpikir bahwa mungkin lebih baik kalau ia menikah saja dengan ibu Bawang merah, supaya Bawang putih tidak kesepian lagi.
Dengan pertimbangan dari bawang putih, maka ayah Bawang putih menikah dengan ibu bawang merah. Awalnya ibu bawang merah dan bawang merah sangat baik kepada bawang putih. Namun lama kelamaan sifat asli mereka mulai kelihatan. Mereka kerap memarahi bawang putih dan memberinya pekerjaan berat jika ayah Bawang Putih sedang pergi berdagang. Bawang putih harus mengerjakan semua pekerjaan rumah, sementara Bawang merah dan ibunya hanya duduk-duduk saja. Tentu saja ayah Bawang putih tidak mengetahuinya, karena Bawang putih tidak pernah menceritakannya.
Suatu hari ayah Bawang putih jatuh sakit dan kemudian meninggal dunia. Sejak saat itu Bawang merah dan ibunya semakin berkuasa dan semena-mena terhadap Bawang putih. Bawang putih hampir tidak pernah beristirahat. Dia sudah harus bangun sebelum subuh, untuk mempersiapkan air mandi dan sarapan bagi Bawang merah dan ibunya. Kemudian dia harus memberi makan ternak, menyirami kebun dan mencuci baju ke sungai. Lalu dia masih harus menyetrika, membereskan rumah, dan masih banyak pekerjaan lainnya. Namun Bawang putih selalu melakukan pekerjaannya dengan gembira, karena dia berharap suatu saat ibu tirinya akan mencintainya seperti anak kandungnya sendiri.
Pagi ini seperti biasa Bawang putih membawa bakul berisi pakaian yang akan dicucinya di sungai. Dengan bernyanyi kecil dia menyusuri jalan setapak di pinggir hutan kecil yang biasa dilaluinya. Hari itu cuaca sangat cerah. Bawang putih segera mencuci semua pakaian kotor yang dibawanya. Saking terlalu asyiknya, Bawang putih tidak menyadari bahwasalah satu baju telah hanyut terbawa arus. Celakanya baju yang hanyut adalah baju kesayangan ibu tirinya. Ketika menyadari hal itu, baju ibu tirinya telah hanyut terlalu jauh. Bawang putih mencoba menyusuri sungai untuk mencarinya, namun tidak berhasil menemukannya. Dengan putus asa dia kembali ke rumah dan menceritakannya kepada ibunya.
“Dasar ceroboh!” bentak ibu tirinya. “Aku tidak mau tahu, pokoknya kamu harus mencari baju itu! Dan jangan berani pulang ke rumah kalau kau belum menemukannya. Mengerti?”
Bawang putih terpaksa menuruti keinginan ibun tirinya. Dia segera menyusuri sungai tempatnya mencuci tadi. Mataharisudah mulai meninggi, namun Bawang putih belum juga menemukan baju ibunya. Dia memasang matanya, dengan teliti diperiksanya setiap juluran akar yang menjorok ke sungai, siapa tahu baju ibunya tersangkut disana. Setelah jauh melangkah dan matahari sudah condong ke barat, Bawang putih melihat seorang penggembala yang sedang memandikan kerbaunya. Maka Bawang putih bertanya: “Wahai paman yang baik, apakah paman melihat baju merah yang hanyut lewat sini? Karena saya harus menemukan dan membawanya pulang.” “Ya tadi saya lihat nak. Kalau kamu mengejarnya cepat-cepat, mungkin kau bisa mengejarnya,” kata paman itu.
“Baiklah paman, terima kasih!” kata Bawang putih dan segera berlari kembali menyusuri. Hari sudah mulai gelap, Bawang putih sudah mulai putus asa. Sebentar lagi malam akan tiba, dan Bawang putih. Dari kejauhan tampak cahaya lampu yang berasal dari sebuah gubuk di tepi sungai. Bawang putih segera menghampiri rumah itu dan mengetuknya.
“Permisi…!” kata Bawang putih. Seorang perempuan tua membuka pintu.
“Siapa kamu nak?” tanya nenek itu.
“Saya Bawang putih nek. Tadi saya sedang mencari baju ibu saya yang hanyut. Dan sekarang kemalaman. Bolehkah saya tinggal di sini malam ini?” tanya Bawang putih.
“Boleh nak. Apakah baju yang kau cari berwarna merah?” tanya nenek.
“Ya nek. Apa…nenek menemukannya?” tanya Bawang putih.
“Ya. Tadi baju itu tersangkut di depan rumahku. Sayang, padahal aku menyukai baju itu,” kata nenek. “Baiklah aku akan mengembalikannya, tapi kau harus menemaniku dulu disini selama seminggu. Sudah lama aku tidak mengobrol dengan siapapun, bagaimana?” pinta nenek.Bawang putih berpikir sejenak. Nenek itu kelihatan kesepian. Bawang putih pun merasa iba. “Baiklah nek, saya akan menemani nenek selama seminggu, asal nenek tidak bosan saja denganku,” kata Bawang putih dengan tersenyum.
Selama seminggu Bawang putih tinggal dengan nenek tersebut. Setiap hari Bawang putih membantu mengerjakan pekerjaan rumah nenek. Tentu saja nenek itu merasa senang. Hingga akhirnya genap sudah seminggu, nenek pun memanggil bawang putih.
“Nak, sudah seminggu kau tinggal di sini. Dan aku senang karena kau anak yang rajin dan berbakti. Untuk itu sesuai janjiku kau boleh membawa baju ibumu pulang. Dan satu lagi, kau boleh memilih satu dari dua labu kuning ini sebagai hadiah!” kata nenek.
Mulanya Bawang putih menolak diberi hadiah tapi nenek tetap memaksanya. Akhirnya Bawang putih memilih labu yang paling kecil. “Saya takut tidak kuat membawa yang besar,” katanya. Nenek pun tersenyum dan mengantarkan Bawang putih hingga depan rumah.
Sesampainya di rumah, Bawang putih menyerahkan baju merah milik ibu tirinya sementara dia pergi ke dapur untuk membelah labu kuningnya. Alangkah terkejutnya bawang putih ketika labu itu terbelah, didalamnya ternyata berisi emas permata yang sangat banyak. Dia berteriak saking gembiranya dan memberitahukan hal ajaib ini ke ibu tirinya dan bawang merah yang dengan serakah langsun merebut emas dan permata tersebut. Mereka memaksa bawang putih untuk menceritakan bagaimana dia bisa mendapatkan hadiah tersebut. Bawang putih pun menceritakan dengan sejujurnya.
Mendengar cerita bawang putih, bawang merah dan ibunya berencana untuk melakukan hal yang sama tapi kali ini bawang merah yang akan melakukannya. Singkat kata akhirnya bawang merah sampai di rumah nenek tua di pinggir sungai tersebut. Seperti bawang putih, bawang merah pun diminta untuk menemaninya selama seminggu. Tidak seperti bawang putih yang rajin, selama seminggu itu bawang merah hanya bermalas-malasan. Kalaupun ada yang dikerjakan maka hasilnya tidak pernah bagus karena selalu dikerjakan dengan asal-asalan. Akhirnya setelah seminggu nenek itu membolehkan bawang merah untuk pergi. “Bukankah seharusnya nenek memberiku labu sebagai hadiah karena menemanimu selama seminggu?” tanya bawang merah. Nenek itu terpaksa menyuruh bawang merah memilih salah satu dari dua labu yang ditawarkan. Dengan cepat bawang merah mengambil labu yang besar dan tanpa mengucapkan terima kasih dia melenggang pergi.
Sesampainya di rumah bawang merah segera menemui ibunya dan dengan gembira memperlihatkan labu yang dibawanya. Karena takut bawang putih akan meminta bagian, mereka menyuruh bawang putih untuk pergi ke sungai. Lalu dengan tidak sabar mereka membelah labu tersebut. Tapi ternyata bukan emas permata yang keluar dari labu tersebut, melainkan binatang-binatang berbisa seperti ular, kalajengking, dan lain-lain. Binatang-binatang itu langsung menyerang bawang merah dan ibunya hingga tewas. Itulah balasan bagi orang yang serakah.

Asal Muasal Selat Bali

Cerita Rakyat dari Bali
Konon dahulu kala tersebutlah seorang begawan yang berbudi luhur, bernama Sidhi Mantra. Pengetahuan agamanya yang tinggi membuat masyarakat yang mengenalnya sangat menghormati dan menyeganinya. Sayang sekali, anak sematawayangnya yang bernama Manik Angkeran tumbuh dan berkembang menjadi seorang anak yang manja, semenjak ditinggal meninggal oleh ibunya.
Setelah dewasa Manik Angkeran berkembang menjadi anak pemuda berandalan, suka berjudi, terutama menyabung ayam. Sangat jauh panggang dari api dengan ayahnya. Nasihat dan petuah ayahnya, Begawan Sidhi Mantra tidak digubrisnya, Manik Angkeran semakin asyik dengan kebiasaannya berjudi sabung ayam. Karena kebiasaan judinya itulah, akhirnya segala harta kekayaan Begawan menjadi habis tidak bersisa.
Suat ketika, Manik Angkeran menemui sang Begawan. Dengan menghiba, dia meminta kepada Begawan Sidhi Mantra untuk membayarkan utang-utangnya yang sudah sedemikian banyak sehingga orang yang diutanginya selalu menagihnya, bahkan mengancamnya. Karena iba melihat raut muka anaknya, Begawan Sidhi Mantra menyanggupi permintaan anaknya tersebut.
Dengan kemampuannya, Begawan Sidhi Mantra akhirnya mendapat petunjuk untuk pergi ke suatu gunung bernama Gunung Agung di sebelah timur, karena di sana terdapat harta yang berlimpah. Mengikuti petunjuk tersebut, berangkatlah sang Begawan ke arah yang ditunjukkan dengan membawa gentanya.
Setibanya di Gunung Agung, Begawan Sidhi Mantrapun membunyikan gentanya sambil membacakan mantra, sehingga tidak lama kemudian muncullah seekor naga besar bernama Naga Besukih, yang kemudian bertanya kepada Begawan, “Begawan Sidhi Mantra, ada maksud apa engkau memangilku?” Kemudian Begawan Sidhi Mantra menceritakan perihal anaknya yang telah menghabiskan kekayaannya, dan terlilit utang yang banyak. Begawan meminta bantuan Naga Besukih untuk dapat membayar utang-utang anaknya tersebut supaya bisa selamat dari kejaran pemberi utang. Naga Besukih menyanggupi untuk menolongnya, tapi dia meminta Begawan Sidhi Mantra utuk berjanji akan menasihati anaknya supaya berhenti berjudi, karena berjudi adalah perbuatan tidak terpuji dan merugikan. Begawan Sidhi Mantra menyanggupinya. Kemudian Naga Besukih menggerakkan tubuhnya, sehingga dari antara sisik-sisiknya keluarlah emas dan intan dan menyuruh Begawan memungutnya.
Setelah berterima kasih, Begawan kembali ke Jawa Timur. Dia melunasi semua utang anaknya dan menasihati Manik Angkeran supaya tidak berjudi lagi, karena berjudi adalah perbuatan yang merugikan. Hanya saja, Manik Angkeran tidak menghiraukan nasihat ayahnya tersebut.
Manik Angkeran bermain judi lagi, kalah terus, dan utangnya menumpuk lagi. Mengalami hal serupa ini, dia kembali menghadap ayahnya dan meminta supaya ayahnya mau melunasi kembali utang-utangnya. Karena saying kepada anaknya, Begawan Sidhi Mantra akhirnya menyanggupinya lagi. Kembali dia meminta bantuan Naga Besukih, dan kembali dia diminta berjanji menasihati anaknya untuk tidak bermain judi lagi.
Kembali dari Naga Besukih, Begawan Sidhi Mantra dapat melunasi utang-utang Manik Angkeran. Tapi bukannya menuruti nasihat ayahnya, Manik Angkeran malah menjadi heran karena ayahnya mudah sekali mendapat uang banyak untuk melunasi utang-utangnya. Diapun bertanya kepada ayahnya asal muasal harta yang diperolehnya itu, dan Begawan Sidhi Mantra tidak bersedia menjelaskan asal muasal harta tersebut, dia hanya meminta supaya Manik Angkeran berhenti bermain judi karena itu adalah bantuannya yang terakhir.
Karena masih terus bermain judi, utang Manik Angkeran menumpuk lagi. Akan tetapi, karena ayahnya sudah mengatakan bahwa tidak akan menolongnya lagi, Manik Angkeran tidak berani meminta bantuan ayahnya lagi. Karena itu diapun berrencana mencari harta dari sumber harta ayahnya itu. Setelah mencari informasi dari beberap orang kawannya, akhirnya dia mengetahui tentang Naga Besukih tersebut.
Berangkatlah Manik Angkeran menuju tempat Naga Besukih dengan genta milik ayanya. Tanpa menunggu lama diapun membunyikan genta tersebut, tapi tanpa mantera pemanggil.
Mendengar bunyi genta tersebut, Naga Besukih keluar menemui Manik Angkeran. Dengan marah dia menghardik Manik Angkeran, “Ada apa kamu memanggilku dengan genta ayahmu, Manik Angkeran?” Dengan menghiba, Manik Angkeran menceritakan perihal utangnya kepada Nage Besukih. Melihat raut muka yang menghiba seperti itu, Naga Besukih merasa kasihan sehingga ia menyanggupi untuk membantu Manik Angkeran. Diapun membalikkan badannya untuk mengambil harta untuk diberikannya. Ketika dia berbalik, Manik Angkeran melihat emas dan permata yang tersembunyi diantara sisik ekor Naga Besukih, sehingga timbullah niat jahatnya untuk menguasai harta itu. Tanpa berpikir panjang diapun memotong ekor Naga Besukih menggunakan kerisnya yang tajam, kemudian lari secepatnya untuk kembali ke tempat asalnya.
Merasakan sakit yang luar biasa, Naga Besukih segera membalikkan badan, akan tetapi dia tidak melihat Manik Angkeran, kecuali bekas telapak kakinya di tanah. Dengan kemarahan yang luar biasa, Naga Besukih kemudian menjilat bekas tapak kaki Manik Angkeran. Sungguh luar biasa, Manik Angkeran merasakan panas yang luar biasa akibat jilatan itu, sehingga akhrinya diapun terbakar dan mati.
Sementara itu, di tempat tinggalnya, Begawan Sidhi Mantra mendapati anaknya yang menghilang, juga gentanya yang tidak ditemukan di tempat biasa dia menyimpannya. Diapun mengerahkan kemampuannya untuk mencari tahu keberadaan anaknya, Manik Angkeran. Akhirnya diapun berangkat menemui Naga Besukih. Begawan Sidhi Mantra menanyakan tentang anaknya kepada Naga Besukih. Sang Naga kemudian menceritakan kejadian yang menimpanya. Dengan keluhuran budinya, Begawan Sidhi Mantra meminta maaf kepada Naga Besukih, dan meminta supaya anaknya bisa kembali. Akhirnya dicapai kesepakatan untuk saling mengembalikan apa yang telah hilang. Begawan Sidhi Mantra menyanggupi untuk mengembalikan ekor sang naga.
Setelah semuanya kembali, Begawan Sidhi Mantra bermaksud kembali ke Jawa Timur. Ketika anaknya ingin ikut pulang, Sang Begawan tidak mengizinkannya. Manik Angkeran disuruh tinggal di sekitar Gunung Agung. Manik Angkeran menyadari semua kesalahannya, akhirnya diapun menuruti perintah ayahnya tersebut.
Dalam perjalanan pulang, Begawan Sidhi Mantra tidak ingin anaknya kembali ke Jawa Timur. Di suatu daerah kering diapun menorehkan tongkatnya ke tanah. Seketika bekas torehan tongkatnya berubah semakin lebar dan lebar dan dalam, sehingga akhirnya air laut masuk mengenanginya. Karena semakin lebar dan menjauh, akhirnya jalur ini dikenal sampai sekarang sebagai Selat Bali, memisahkan Pulau Bali dan Pulau Jawa.